Setelah sekian lama tidak terlihat menghiasi pementasan seni di Buleleng, seni musik genggong kembali dibangkitkan. Kali ini seni musik genggong dikolaborasikan dengan seni genjek pada pembukaan Gelar Seni Budaya (GASEBU) Kecamatan Sukasada 2019. Atraksi seni genjek kolaborasi genggong ini dibawakan oleh sanggar seni dari Desa Selat, Kecamatan Sukasada.
GASEBU 2019 digelar selama empat hari yang dimulai pada tanggal 13-16 Nopember 2019 dengan tema “Jagra Adikara” yang bermakna kesadaran untuk melestarikan warisan seni budaya nenek moyang, dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati Buleleng, dr. I Nyoman Sutjidra, Sp.OG, didampingi oleh Camat Sukasada, I Made Dwi Adnyana, S.STP, serta Anggota DPRD Buleleng Dapil Sukasada, Wayan Indrawan bertempat di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bung Karno Kecamatan Sukasada, Rabu (13/11).
Usai membuka acara, Wabup Sutjidra mengatakan acara tahunan yang pertama kalinya digelar di aera RTH Bung Karno ini merupakan suatu ajang untuk mempromosikan potensi daerah, menggairahkan perekonomian, serta menghibur masyarakat Sukasada khususnya yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan untuk masyarakat Kabupaten Buleleng. Potensi seni di Kecamatan Sukasada dinilai masih banyak yang terpendam, seperti contohnya atraksi seni genggong yang selama ini jarang terlihat menghiasi pentas seni di Buleleng, kembali ditampilkan pada GASEBU kali ini yang dikolaborasikan dengan genjek. “Nah, pada festival seperti inilah kita memberikan ruang pada seniman-seniman untuk menggali potensi seni yang beberapa diantaranya masih terpendam dan perlu dikembangkan lagi,” ujarnya.
Ditemui di lokasi yang sama, Pembina seni genjek kolaborasi genggong asal Desa Selat, Ketut Sarjana menjelaskan atraksi seni tersebut merupakan suatu yang unik dan memang jarang dipentaskan. Sebelumnya seni genjek tidak pernah dikolaborasikan dengan atraksi seni lainnya, sehingga dengan tujuan menciptakan inovasi baru dan menggali potensi seni yang terpendam selama ini, akhirnya genjek dikolaborasikan dengan seni musik genggong yang pertama kalinya dipentaskan di Buleleng. Seni musik genggong memang dinilai hampir mengalami kepunahan, dikarenakan sebagian besar sekeha genggong merupakan orang-orang yang telah lanjut usia. “Sehingga karena faktor usia dan banyak yang sudah meninggal dunia, seni genggong sempat vakum dan kami ingin membangkitkan kembali dengan membentuk sekeha yang baru,” jelasnya.
Peserta genjek kolaborasi genggong, masih kata Sarjana, terdiri dari 30 orang, dan telah terbentuk sejak setahun yang lalu. Selama proses latihan, memang terdapat beberapa hambatan yang tidak bisa dipungkiri, tetapi karna tekad dan motivasi untuk membangkitkan seni yang terpendam, ia akhirnya berhasil mengkolaborasikan genjek dan genggong ini. Atraksi seni ini menurutnya bukan termasuk seni yang sakral, karena pementasan seni yang tergolong sakral hanya dipentaskan pada upacara agama tertentu, tetapi genggong ini dapat dipentaskan dimana saja tanpa diawali dengan ritual khusus. “Tiap latihan atau menjelang pentas kami hanya mepiuning atau memohon kelancaran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kami harap seluruh sekeha genggong yang ada di desa lain selain desa kami agar termotivasi untuk membangkitkan kembali,” pungkasnya.