Indonesia adalah negeri dengan curah hujan tinggi, namun juga akrab dengan bencana banjir dan kekeringan. Di balik fenomena ini, terdapat peran penting pepohonan sebagai penyerap dan penyimpan air alami. Pohon-pohon besar dengan sistem perakaran yang kuat berfungsi menahan air hujan, menyimpannya di dalam tanah, dan menjaga keseimbangan siklus hidrologi. Menariknya, sejak jauh sebelum ilmu lingkungan modern berkembang, masyarakat Nusantara telah memahami pentingnya pohon-pohon ini melalui cerita, mitos, dan kepercayaan yang diwariskan turun-temurun.
Salah satu pohon yang paling dikenal sebagai penyerap air adalah beringin (Ficus benjamina). Beringin memiliki akar gantung dan akar lateral yang menyebar luas, mampu menahan dan menyimpan air dalam jumlah besar. Tak mengherankan jika beringin sering tumbuh di dekat mata air, sungai, atau persimpangan desa. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa dan Bali, pohon beringin kerap dianggap angker, dihuni makhluk halus, atau menjadi tempat bersemayam penunggu gaib. Mitos ini secara tidak langsung membuat masyarakat enggan menebang atau merusaknya, sehingga beringin tetap lestari dan fungsi ekologisnya sebagai penjaga air tetap terpelihara.
Hal serupa juga terjadi pada pohon trembesi (Samanea saman). Dengan tajuk yang sangat lebar dan akar yang dalam, trembesi mampu menyerap air hujan dalam jumlah besar serta mengurangi limpasan air permukaan. Di beberapa daerah, pohon besar dengan usia ratusan tahun seperti trembesi sering dianggap keramat. Cerita tentang pohon besar yang “tidak boleh sembarangan ditebang” berkembang sebagai bentuk larangan sosial. Tanpa disadari, mitos ini berfungsi sebagai mekanisme perlindungan lingkungan yang efektif.
Bambu, yang dikenal sebagai tanaman penyimpan air alami, juga tidak lepas dari kisah mistis. Hutan bambu sering dikaitkan dengan suara-suara aneh, angin yang berdesir menyerupai bisikan, atau keberadaan makhluk tak kasatmata. Padahal secara ekologis, bambu memiliki sistem akar rimpang yang rapat dan sangat efektif menjaga cadangan air tanah serta mencegah longsor. Dengan adanya cerita-cerita tersebut, masyarakat cenderung menjaga hutan bambu dan tidak menebangnya secara sembarangan, sehingga fungsi konservasi air tetap berjalan.
Begitu pula dengan pohon aren (Arenga pinnata) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang sering tumbuh di daerah perbukitan dan sekitar sumber air. Di beberapa wilayah, pohon-pohon ini dianggap memiliki “penunggu” dan harus diperlakukan dengan hormat. Ritual kecil atau permisi sebelum menebang pohon bukan sekadar praktik spiritual, tetapi juga cara untuk membatasi eksploitasi alam secara berlebihan.
Dari sudut pandang modern, mitos tentang pohon berhantu mungkin dianggap tidak rasional. Namun jika ditelaah lebih dalam, kepercayaan tersebut merupakan bentuk kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam. Ketika belum ada undang-undang lingkungan, belum ada kajian hidrologi, dan belum dikenal istilah konservasi, masyarakat menggunakan narasi mistis sebagai alat kontrol sosial agar alam tidak dirusak secara serampangan.
Sayangnya, seiring berkembangnya zaman dan memudarnya kepercayaan tradisional, banyak pohon besar ditebang tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Ketika mitos ditinggalkan, tetapi kesadaran lingkungan belum sepenuhnya menggantikannya, kerusakan alam pun terjadi. Mata air mengering, tanah kehilangan daya serap, dan bencana hidrometeorologi semakin sering terjadi.
Kini, ilmu pengetahuan modern justru membuktikan bahwa apa yang dijaga oleh leluhur melalui mitos adalah kebenaran ekologis. Pohon-pohon yang dianggap keramat ternyata memang memiliki peran vital sebagai penyerap air, penjaga tanah, dan penyeimbang ekosistem. Dengan demikian, mitos dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam menjaga kelestarian alam.
Menjaga pohon hari ini bukan berarti menghidupkan kembali rasa takut terhadap hal gaib, melainkan menghidupkan kembali rasa hormat terhadap alam. Jika dulu alam dijaga lewat cerita dan kepercayaan, kini alam harus dijaga melalui kesadaran, kebijakan, dan tindakan nyata. Namun esensinya tetap sama: pohon-pohon besar bukan untuk dirusak, melainkan untuk dilindungi, karena di sanalah air, kehidupan, dan masa depan disimpan.