Banjir yang semakin sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Bali, bukan lagi sekadar fenomena alam yang datang tanpa peringatan. Ia adalah akibat nyata dari ketidakseimbangan manusia dalam memperlakukan alam, salah satunya melalui penebangan pohon secara masif dan tidak terkontrol. Hutan yang dahulu menjadi benteng pelindung telah berubah menjadi lahan gundul, digantikan oleh permukiman, perkebunan, hingga proyek pembangunan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Setiap kali pohon ditebang, hilang pula satu lapisan perlindungan bumi yang menjaga air, tanah, dan kehidupan. Dan ketika pohon-pohon itu hilang, banjir menjadi jawaban alam terhadap ketidakpedulian manusia. Dalam konteks Bali yang sarat nilai dan kearifan lokal, fenomena ini menjadi momentum penting untuk kembali mengingat Tri Hita Karana—tiga sumber kebahagiaan yang menjadi fondasi hidup masyarakat Hindu Bali.
Tri Hita Karana mengajarkan bahwa kebahagiaan dan keharmonisan lahir dari keseimbangan tiga hubungan: Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Ketika salah satu dari ketiga aspek ini rusak, maka keseimbangan hidup pun ikut terganggu. Penebangan pohon yang merusak ekosistem bukan hanya soal rusaknya Palemahan, tetapi juga mempengaruhi harmoni Pawongan dan Parahyangan. Sebab dalam pandangan hidup masyarakat Bali, alam bukan sekadar ruang kosong yang bisa diubah sesuka hati, melainkan bagian dari kehidupan spiritual yang sangat dihormati. Pohon, tanah, air, dan hutan adalah anugerah yang memiliki taksu, memiliki energi dan kehidupan yang harus dijaga.
Secara ekologis, pohon berfungsi sebagai penyerap dan penahan air. Akar pohon menyimpan air hujan, menjaga tanah agar tidak mudah tergerus, dan melepaskan air perlahan ke sungai serta mata air. Kanopinya memecah air hujan, sehingga tanah tidak langsung terpapar curahan air yang keras. Ketika pohon ditebang, mekanisme alami ini hilang. Air kemudian mengalir secara liar di permukaan, membawa tanah ke sungai, membuat sungai dangkal, dan akhirnya menyebabkan banjir. Namun dalam pandangan Tri Hita Karana, kerusakan ekologis ini tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga spiritual. Ketika alam dirusak, hubungan manusia dengan Tuhan melalui alam ciptaan-Nya juga terganggu. Gangguan ini tercermin dalam bencana yang hadir bukan sekadar peristiwa alam, tetapi sebagai tanda bahwa keseimbangan antara manusia dan lingkungan tidak lagi harmonis.
Dalam konteks Parahyangan, menjaga alam adalah bagian dari yadnya, bentuk persembahan suci kepada Tuhan. Pura-pura di Bali sering dikelilingi pohon besar bukan hanya karena estetika, tetapi karena keyakinan bahwa alam adalah ruang suci tempat energi ilahi bersemayam. Bahkan dalam upacara tertentu, penggunaan daun, bunga, kayu, dan unsur alam selalu disertai rasa hormat. Ketika penebangan pohon dilakukan dengan semena-mena, tanpa ritual, tanpa pertimbangan, bahkan tanpa upaya menanam kembali, maka manusia telah mengabaikan bagian dari persembahan suci kepada Hyang Widhi. Alam kehilangan kesuciannya, dan manusia kehilangan salah satu media penting untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Dengan demikian, banjir bukan hanya bencana ekologi, tetapi juga pengingat spiritual bahwa hubungan Parahyangan sedang mengalami gangguan.
Sementara itu, dari sisi Pawongan, dampak penebangan pohon dan banjir sangat terasa dalam kehidupan sosial. Banjir merusak rumah, memutus akses jalan, mengganggu aktivitas ekonomi, menghambat pendidikan, serta menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Ketika banjir melanda, solidaritas memang muncul, tetapi di sisi lain konflik kepentingan sering timbul: siapa yang bertanggung jawab, siapa yang harus menanggung kerugian, dan bagaimana langkah pemulihannya. Di sinilah Pawongan diuji. Jika kerusakan alam dipicu oleh sebagian pihak yang menebang pohon demi keuntungan pribadi, maka masyarakat luas yang harus menanggung akibatnya. Relasi antarmanusia menjadi timpang, karena nilai kebersamaan tergantikan oleh kepentingan jangka pendek. Banjir menjadi gambaran nyata bahwa ketika manusia gagal menjaga Palemahan, maka harmoni dalam Pawongan pun ikut terguncang.
Konsep Palemahan adalah inti dari isu ini. Dalam Tri Hita Karana, Palemahan mengajarkan bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam dan tidak boleh memanfaatkan alam secara berlebihan. Alam dipandang sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga, bukan dieksploitasi. Pohon bukan hanya kayu, tetapi penyeimbang ekosistem yang menopang kehidupan banyak makhluk. Ketika penebangan terjadi tanpa kontrol, Palemahan terganggu, dan banjir adalah konsekuensi langsung dari ketidakseimbangan ini. Di Bali, kesadaran menjaga Palemahan sebenarnya sudah tertanam dalam berbagai tradisi, seperti subak yang menjaga keseimbangan air dan pertanian, atau larangan menebang pohon besar di tempat-tempat suci. Namun modernisasi, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang tidak terarah sering berjalan lebih cepat daripada kemampuan masyarakat menjaga kearifan lokalnya.
Jika Tri Hita Karana diterapkan secara mendalam, penebangan pohon sebenarnya hanya dapat dilakukan jika benar-benar perlu, disertai perhitungan ekologis, dan selalu diimbangi dengan penanaman kembali. Namun dalam praktiknya, banyak hutan ditebang demi proyek yang tidak mempertimbangkan risiko jangka panjang. Keberlanjutan lingkungan dikorbankan demi keuntungan sesaat. Padahal kerugian banjir jauh lebih besar daripada manfaat jangka pendek dari pembukaan lahan. Maka, Hari Pohon Sedunia maupun momentum bencana banjir seharusnya menjadi pengingat bahwa menjaga Palemahan bukan sekadar tugas pemerintah atau pecinta lingkungan, tetapi kewajiban moral setiap individu.
Melalui perspektif Tri Hita Karana, solusi penanganan banjir harus dilakukan secara holistik. Reboisasi dan penghijauan harus digalakkan bukan sebagai proyek seremonial, tetapi sebagai komitmen jangka panjang untuk memulihkan hubungan manusia dengan alam. Pemerintah dapat mengatur zonasi ketat untuk mencegah penebangan di kawasan rawan, sementara masyarakat dapat memperkuat budaya menanam pohon di pekarangan rumah, bantaran sungai, dan kawasan publik. Generasi muda juga perlu diajarkan bahwa menjaga alam adalah menjaga masa depan mereka sendiri. Pendidikan lingkungan berbasis kearifan lokal—termasuk Tri Hita Karana—dapat menjadi dasar untuk membangun kesadaran sejak dini bahwa pohon bukan sekadar benda hidup, tetapi bagian dari keseimbangan spiritual dan sosial.
Banjir bukan hanya masalah teknis atau alamiah; ia adalah pesan moral dan spiritual tentang pentingnya menjaga harmoni. Ketika manusia merusak alam, alam akan mencari keseimbangan barunya, dan sering kali keseimbangan itu hadir melalui bencana. Tri Hita Karana memberikan kita kompas untuk kembali pada harmoni itu. Dengan memulihkan Parahyangan melalui rasa hormat kepada alam ciptaan-Nya, memperkuat Pawongan melalui solidaritas dan tanggung jawab bersama, serta memulihkan Palemahan melalui penjagaan lingkungan, maka kita membangun kembali hubungan yang seimbang. Pada akhirnya, menjaga pohon berarti menjaga kehidupan, menjaga keharmonisan, dan menjaga kebahagiaan itu sendiri—karena tanpa keseimbangan antara manusia dan alam, kebahagiaan tidak akan pernah benar-benar dapat ditemukan.