(0362) 21985
organisasisetda@bulelengkab.go.id
Bagian Organisasi

Ketika Ilmu Menjadi Murah dan Popularitas Menjadi Segalanya: Potret Ketimpangan Honor Dosen vs Influencer di Indonesia

Admin organisasisetda | 10 Desember 2025 | 397 kali

Perdebatan soal penghargaan terhadap akademisi kembali mencuat setelah seorang dosen, Ahmad Junaidi, menceritakan pengalamannya diundang sebagai pembicara dalam sebuah forum bersama para influencer, namun hanya menerima honor Rp 300.000. Sementara itu, influencer dalam acara yang sama mendapat bayaran belasan juta rupiah—lengkap dengan fasilitas yang jauh lebih nyaman. Kisah ini segera viral, bukan karena jumlah uangnya semata, tetapi karena apa yang ia wakili: ketimpangan penghargaan antara ilmu pengetahuan dan popularitas di era digital.

Fenomena ini bukan kejadian tunggal. Banyak akademisi lain mengaku mengalami hal serupa. Mereka menghabiskan bertahun-tahun mengenyam pendidikan, riset, serta mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan, tetapi ketika berbicara dalam forum publik, nilai mereka sering kali diperlakukan jauh lebih rendah dibanding selebritas media sosial. Dalam banyak seminar, workshop, dan talkshow, para penyelenggara tidak ragu membayar influencer dengan tarif tinggi karena dianggap mampu mendatangkan audiens, meningkatkan engagement, dan menaikkan pamor acara. Sementara kontribusi intelektual—yang seharusnya menjadi inti sebuah forum edukatif—justru dinilai kecil secara finansial.

Kasus yang dialami Ahmad Junaidi membuka mata kita tentang bagaimana masyarakat memberi nilai pada dua hal yang berbeda: ilmu dan perhatian publik. Influencer dibayar mahal karena mereka punya jumlah pengikut yang besar, citra yang kuat, dan kemampuan mempengaruhi tren melalui konten. Sedangkan akademisi dianggap tidak memiliki “nilai jual” yang sama dalam konteks komersial. Maka muncul pertanyaan penting: apakah ukuran penghargaan pada seseorang kini semata-mata ditentukan oleh angka followers?

Di sisi lain, penyelenggara acara sering berdalih bahwa ini adalah soal pasar. Influencer memiliki rate card yang jelas, negosiasi dilakukan dari awal, dan mereka bekerja di industri yang menempatkan popularitas sebagai komoditas utama. Namun, logika yang sama jarang berlaku untuk akademisi. Banyak dosen tidak menetapkan tarif, merasa canggung meminta pembayaran, atau menganggap kegiatan edukasi adalah bagian dari pengabdian mereka sebagai akademisi. Alhasil, posisi tawar mereka menjadi sangat rendah. Ketika penyelenggara menawarkan honor sekadar “uang transport”, mereka hanya bisa menerimanya dengan senyum pahit.

Fenomena ini mencerminkan isu yang lebih dalam: kepakaran di Indonesia belum sepenuhnya dihargai. Di tengah maraknya disinformasi, clickbait, dan banjir konten, suara akademisi seharusnya mendapat ruang dan penghargaan yang layak. Namun realitasnya, perhatian publik lebih mudah terseret oleh figur-figur populer yang dianggap lebih “menarik” atau “menghibur.” Padahal, kualitas materi yang dibawakan influencer tidak selalu relevan atau akurat. Sementara dosen membawa analisis, riset, dan pengetahuan yang teruji. Ironisnya, mereka yang membawa substansi justru seringkali diberi panggung kecil dan bayaran minim.

Lebih jauh lagi, ketimpangan ini juga mengindikasikan pergeseran nilai masyarakat. Pengetahuan tidak lagi menjadi aset utama dalam komunikasi publik; yang penting adalah seberapa viral seseorang dapat menjadi. Ketika forum edukasi mulai lebih mengutamakan menarik perhatian ketimbang menyampaikan isi, maka tujuan awal kegiatan itu sendiri menjadi kabur. Padahal, pandemi Covid-19 telah mengajarkan kita bahwa informasi yang salah bisa membunuh, dan suara ilmiah sangat penting untuk menyelamatkan nyawa. Namun setelah pandemi mereda, apresiasi terhadap akademisi tampaknya kembali surut.

Apakah ini artinya akademisi harus mengikuti jejak influencer—membuat konten, membangun persona digital, mengejar followers—agar nilai mereka meningkat? Tidak selalu. Tapi realistisnya, di dunia yang semakin digerakkan oleh algoritma, akademisi perlu membangun visibilitas agar suara mereka terdengar. Banyak profesor dan peneliti dunia kini aktif di media sosial untuk menyebarkan pengetahuan dan melawan disinformasi. Namun, tanggung jawab utama tetap berada pada masyarakat dan penyelenggara: menghargai ilmu pengetahuan dengan layak.

Honornya bukan hanya soal uang, melainkan pengakuan bahwa kerja intelektual itu bernilai dan membutuhkan waktu, riset, serta keahlian yang tidak muncul dalam semalam. Para akademisi adalah penjaga nalar, penyaring hoaks, dan penjamin kualitas informasi publik. Jika suara mereka terus diabaikan atau diremehkan, maka ruang publik kita akan lebih mudah dipenuhi sensasi daripada substansi.

Kisah dosen yang dibayar Rp 300.000 ini seharusnya menjadi momentum refleksi. Bukan untuk menyalahkan influencer, karena mereka bekerja di ranahnya sendiri, tetapi untuk mengingatkan bahwa ada ketimpangan yang perlu diperbaiki. Forum edukasi tidak boleh sekadar menjadi panggung popularitas. Akademisi layak dihormati atas ilmu yang mereka bawa, bukan sekadar dijadikan “pelengkap” acara agar terlihat formal.

Ke depan, diharapkan penyelenggara acara mulai menyusun standar honor yang lebih etis bagi akademisi, sama seperti mereka memberi standardisasi bagi influencer. Akademisi pun tidak perlu merasa sungkan untuk menetapkan nilai jasanya. Itu bukan soal komersialisasi ilmu, tetapi soal martabat profesional.

Karena jika bangsa ingin maju, kita perlu memastikan bahwa para penjaga ilmu tidak dibiarkan berdiri di belakang panggung dengan honor kecil, sementara panggung depannya dipenuhi bintang semu yang hanya bersinar karena terang kamera. Ilmu tidak pernah murah—dan tidak boleh diperlakukan demikian.