Fenomena meningkatnya perilaku bullying pada anak-anak zaman sekarang menjadi keprihatinan banyak orang tua, guru, dan masyarakat luas. Jika dibandingkan dengan generasi milenial, anak-anak masa kini tampak lebih mudah melakukan perundungan, baik secara verbal, sosial, maupun melalui dunia digital. Perubahan ini bukan muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil dari pergeseran pola hidup, lingkungan sosial, budaya digital, hingga dinamika keluarga yang berbeda dari masa sebelumnya. Anak-anak hari ini tumbuh dalam ruang yang lebih kompleks: mereka terpapar teknologi sejak dini, hidup dalam arus informasi yang cepat, serta menghadapi tekanan sosial yang sering tidak tampak tetapi memengaruhi perilaku mereka.
Salah satu faktor utama adalah hadirnya media sosial dan teknologi digital yang semakin melekat dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan generasi milenial yang baru mengenal internet pada usia remaja, anak-anak saat ini tumbuh bersama layar sejak kecil. Ruang digital mempermudah bullying karena anak merasa berada di balik anonimitas, tidak melihat korban secara langsung, dan tidak menyadari sepenuhnya dampak emosional dari kata-kata yang mereka tuliskan. Selain itu, like, komentar, dan konten viral membuat banyak anak terjebak dalam kebutuhan akan pengakuan. Di sinilah bullying sering muncul sebagai cara untuk mendapatkan perhatian, hiburan, atau sekadar mengikuti tren kelompok. Dunia digital memperluas panggung untuk perilaku negatif, dan tanpa pendampingan yang kuat, anak mudah salah langkah.
Lingkungan sosial yang lebih kompetitif juga memengaruhi perilaku anak. Tekanan akademik, tuntutan prestasi, standar kecantikan dan gaya hidup di media sosial, serta perbandingan yang tak henti-henti membuat anak lebih sensitif, lebih mudah tersinggung, dan lebih agresif dalam mengekspresikan diri. Banyak anak tidak dibekali keterampilan emosional seperti empati, pengendalian diri, dan komunikasi sehat, sehingga mereka melampiaskan ketidaknyamanan dengan mem-bully teman mereka. Generasi milenial tumbuh dengan lebih banyak interaksi langsung—bermain di luar rumah, bertemu teman secara fisik, dan belajar memahami ekspresi sosial melalui pengalaman nyata. Anak-anak sekarang justru lebih banyak berinteraksi melalui gadget, sehingga kemampuan membaca perasaan orang lain melemah, sementara keberanian melakukan tindakan kasar justru meningkat.
Selain itu, perubahan dalam pola pengasuhan turut mempengaruhi. Banyak keluarga modern yang penuh tekanan ekonomi, orang tua bekerja lebih lama, dan waktu untuk mendampingi anak semakin berkurang. Tidak jarang anak akhirnya memperoleh nilai-nilai sosial bukan dari orang tua, tetapi dari teman, konten internet, atau figur publik di media sosial. Minimnya pengawasan dan komunikasi hangat membuat anak tidak sepenuhnya memahami batasan perilaku yang baik dan buruk. Beberapa orang tua juga cenderung menggunakan pola asuh permisif—menghindari konfrontasi, terlalu membiarkan, atau terlalu cepat memenuhi keinginan anak—yang membuat anak kurang belajar konsekuensi atas sikapnya. Generasi milenial dulu tumbuh dalam pola asuh yang lebih tradisional, dengan disiplin yang lebih jelas dan interaksi keluarga yang lebih intens.
Tidak hanya itu, perubahan budaya juga memainkan peran besar. Konten yang mengandung kekerasan, ejekan, atau humor yang merendahkan orang lain kini dianggap lumrah dan mudah diakses. Anak-anak yang belum memiliki filter moral yang matang dapat meniru tanpa sadar. Serial, video, bahkan challenge di media sosial seringkali menampilkan tindakan yang mendekati bullying, tetapi dikemas sebagai hiburan. Ketika anak melihat perilaku merundung diberikan tepuk tangan atau dianggap lucu oleh publik, mereka belajar bahwa tindakan itu dapat diterima. Padahal, generasi milenial tumbuh di era di mana hiburan digital tidak sekaya dan tidak seagresif sekarang.
Dalam masyarakat hari ini, ada pula tren menurun dalam kemampuan anak mengelola frustrasi. Banyak anak sulit menerima kekalahan, kritik, atau situasi tidak nyaman. Ketidaksabaran dan kadar toleransi yang rendah sering membuat mereka bereaksi berlebihan, termasuk dengan merundung teman yang dianggap lemah atau berbeda. Bullying menjadi cara untuk merasa lebih kuat, lebih dominan, atau lebih diterima dalam kelompok. Dinamika kelompok anak sekarang juga lebih keras karena dipengaruhi oleh budaya kompetisi yang intens, baik di sekolah maupun di dunia maya.
Namun, penting untuk disadari bahwa peningkatan kasus bullying tidak sepenuhnya karena anak-anak zaman sekarang lebih buruk; banyak juga karena pelaporan lebih terbuka dan kesadaran publik lebih tinggi. Dulu, banyak kasus bullying tidak dianggap serius atau tidak dilaporkan. Kini, sekolah, media, dan masyarakat lebih peka sehingga kasus lebih terlihat. Meski begitu, realitas bahwa lingkungan modern memicu pola bullying yang lebih luas, lebih cepat, dan lebih berdampak tetap tidak bisa diabaikan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan menyeluruh—dimulai dari keluarga, sekolah, hingga dunia digital. Anak perlu dibekali kemampuan literasi digital, kecerdasan emosional, serta pembiasaan untuk menghargai perbedaan. Orang tua harus lebih aktif dalam mendampingi anak, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. Sekolah perlu membangun budaya empati, bukan hanya akademik. Dan yang terpenting, ruang digital harus disikapi sebagai lingkungan sosial yang membutuhkan aturan, etika, dan keteladanan.
Fenomena bullying pada anak hari ini tidak boleh hanya dilihat sebagai masalah generasi, melainkan sebagai cermin bahwa dunia tempat mereka tumbuh berubah sangat cepat. Jika kita ingin anak-anak tumbuh menjadi generasi yang lebih lembut, lebih berempati, dan lebih saling menjaga, maka orang dewasa harus hadir, membimbing, dan memberi teladan. Sebab pada akhirnya, anak-anak tidak terlahir sebagai pelaku bullying—mereka belajar dari lingkungan yang membentuk mereka. Dan jika lingkungan itu diperbaiki, maka perilaku mereka pun akan berubah menjadi lebih baik.