(0362) 21985
organisasisetda@bulelengkab.go.id
Bagian Organisasi

Nestapa Penulis di Tengah Lesunya Industri Buku: Antara Rendahnya Minat Baca, Gempuran Teknologi, dan Harapan untuk Bangkit

Admin organisasisetda | 12 November 2025 | 10 kali

Nestapa Penulis di Tengah Lesunya Industri Buku: Antara Rendahnya Minat Baca, Gempuran Teknologi, dan Harapan untuk Bangkit

Oleh : Desak Putu Suastini

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, industri buku justru menghadapi keterpurukan yang kian dalam. Buku, yang selama ini menjadi simbol peradaban dan sarana utama penyebaran ilmu pengetahuan, kini seolah tergeser oleh konten instan dan hiburan digital. Tidak sedikit penerbit kecil yang gulung tikar, toko buku independen tutup, dan para penulis kehilangan ruang serta penghasilan yang layak. Dunia perbukuan, yang dahulu penuh gairah intelektual, kini terpinggirkan di tengah dominasi algoritma media sosial dan pola konsumsi informasi yang serba cepat. Sementara itu, penulis—yang semestinya menjadi pilar kebudayaan dan pengetahuan—terjebak dalam ruang sunyi, tanpa jaminan hidup layak maupun apresiasi yang setimpal.

Salah satu penyebab utama keterpurukan ini adalah rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari UNESCO yang banyak dikutip, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari seribu orang Indonesia, hanya satu orang yang benar-benar memiliki kebiasaan membaca. Survei yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal literasi. Data ini mengindikasikan bahwa meskipun jumlah penduduk besar dan akses informasi semakin terbuka, budaya membaca belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) dari Perpustakaan Nasional RI tahun 2022 juga hanya mencatat skor 59,52 dari 100—masih dalam kategori sedang. Sementara itu, indeks literasi digital Indonesia tahun 2022 dari Kominfo mencatat skor 3,54 dari skala 1 hingga 5, yang juga menandakan literasi digital belum cukup matang, khususnya dalam aspek berpikir kritis dan konsumsi informasi yang berkualitas.

Rendahnya minat baca ini turut diperparah oleh hadirnya teknologi informasi yang seharusnya menjadi alat pendukung literasi, namun justru melahirkan budaya konsumsi informasi yang dangkal dan cepat. Masyarakat kini lebih tertarik pada konten-konten video pendek, meme, dan berita viral ketimbang membaca buku. Algoritma media sosial didesain untuk menonjolkan konten yang menghibur, mudah dipahami dalam hitungan detik, dan mengundang interaksi cepat, bukan konten-konten mendalam yang membutuhkan konsentrasi dan perenungan. Akibatnya, ruang bagi buku dan penulis menjadi semakin sempit, karena perhatian publik telah direbut oleh layar-layar berpendar yang menawarkan hiburan instan dan sensasi sesaat.

Dampaknya sangat terasa bagi para penulis. Bagi mereka, menulis bukan hanya pekerjaan, tetapi juga jalan hidup, panggilan intelektual, dan bentuk kontribusi terhadap masyarakat. Namun, dalam kondisi saat ini, menulis buku bukanlah jaminan kesejahteraan. Royalti yang diterima penulis di Indonesia umumnya berkisar antara 8 hingga 12 persen dari harga jual buku. Artinya, dari sebuah buku seharga Rp100.000, penulis hanya menerima sekitar Rp8.000 hingga Rp12.000 per eksemplar. Jika buku itu hanya terjual 1.000 eksemplar—angka yang bahkan sudah dianggap bagus oleh standar lokal—maka total royalti yang diterima penulis hanya Rp8 juta hingga Rp12 juta, jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan waktu, tenaga, dan biaya riset yang dibutuhkan untuk menulis buku tersebut.

Kondisi ini membuat banyak penulis harus mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup. Tidak sedikit dari mereka yang memilih menjadi guru, penerjemah, editor, bahkan beralih menjadi konten kreator karena lebih menjanjikan dari segi pendapatan. Pilihan ini seringkali diambil dengan berat hati, karena harus meninggalkan idealisme dan gairah dalam menulis. Sementara itu, penerbit independen kesulitan bertahan karena biaya produksi yang tinggi, fluktuasi harga kertas, serta menurunnya daya beli masyarakat. Toko buku fisik juga terdesak oleh platform e-commerce yang menjual buku dengan diskon besar, namun minim kurasi dan promosi karya lokal yang bermutu.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada upaya yang telah dilakukan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Perpustakaan Nasional telah meluncurkan berbagai program literasi seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN), penyediaan perpustakaan digital seperti iPusnas, serta kerja sama dengan komunitas literasi di berbagai daerah. Beberapa komunitas seperti Forum Lingkar Pena, Taman Baca Masyarakat, hingga gerakan book-sharing berbasis media sosial juga menunjukkan semangat akar rumput dalam membumikan literasi. Namun upaya ini belum cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan budaya membaca di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Pertama, literasi harus ditanamkan sejak usia dini. Pendidikan anak usia dini (PAUD) perlu diarahkan untuk menumbuhkan kegemaran membaca, bukan sekadar mengenalkan huruf dan angka. Orang tua perlu dilibatkan melalui program “membacakan buku” di rumah agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang akrab dengan bacaan. Pemerintah daerah juga harus memastikan setiap sekolah memiliki perpustakaan yang layak, lengkap dengan buku-buku terbaru dan pustakawan yang kompeten. Tidak kalah penting, guru harus diberi pelatihan untuk menjadikan kegiatan membaca sebagai pengalaman yang menyenangkan, bukan tugas yang membosankan.

Kedua, perlu perbaikan akses terhadap buku. Masih banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki toko buku, dan distribusi buku baru cenderung terpusat di kota-kota besar. Pemerintah dapat memberikan subsidi ongkos kirim untuk buku ke daerah terpencil, serta mengembangkan perpustakaan digital yang dapat diakses gratis. E-book dengan harga terjangkau, atau bahkan gratis untuk pelajar, bisa menjadi solusi agar generasi muda tetap bisa membaca tanpa terhalang biaya. Platform digital seperti iPusnas, Storial, atau Google Play Books bisa dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan distribusi karya lokal.

Ketiga, perlu adanya insentif konkret bagi penulis dan penerbit. Pemerintah dapat memberikan subsidi cetak, pembebasan pajak royalti, hingga program bantuan riset bagi penulis yang menulis buku berbasis data dan kajian serius. Kompetisi menulis dengan hadiah yang layak dan dukungan publikasi juga bisa menjadi cara untuk memunculkan penulis-penulis muda berbakat. Selain itu, karya penulis lokal perlu mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan agar pelajar dapat mengenal dan mengapresiasi hasil karya anak bangsa sejak dini.

Keempat, teknologi seharusnya dijadikan sebagai alat bantu literasi, bukan saingan. Pemerintah, pelaku industri kreatif, dan komunitas teknologi bisa berkolaborasi membuat aplikasi membaca yang interaktif, gamifikasi literasi, serta konten edukatif di platform digital populer. Festival literasi daring, podcast buku, kanal YouTube yang membahas resensi buku, dan ruang diskusi daring adalah contoh penggunaan teknologi untuk memperkuat budaya membaca, bukan sebaliknya.

Kelima, gerakan literasi harus menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Figur publik dan influencer dapat dilibatkan untuk mengampanyekan pentingnya membaca. Kampanye nasional seperti “Satu Hari Satu Buku”, “BookTube Indonesia”, atau gerakan membaca di transportasi umum bisa menjadi cara untuk menormalisasi budaya membaca di ruang publik. Media massa juga dapat mengangkat profil penulis, ulasan buku, serta diskusi literasi sebagai bagian dari program reguler mereka.

Keenam, sistem pendidikan perlu direformasi agar membaca dan menulis tidak sekadar menjadi formalitas akademik, tetapi menjadi bagian dari pembentukan karakter dan daya pikir. Kurikulum harus memberi ruang untuk apresiasi sastra, refleksi terhadap bacaan, serta pengembangan kemampuan menulis kreatif. Pelajar tidak hanya diuji pada pengetahuan hafalan, tetapi juga kemampuan menafsirkan, menganalisis, dan menulis argumen berbasis bacaan.

Pada akhirnya, menyelamatkan industri buku bukan hanya soal menyelamatkan penerbit, toko buku, atau penulis. Ini adalah tentang menyelamatkan fondasi intelektual bangsa. Buku masih memiliki kekuatan untuk mengubah cara pandang, memperluas wawasan, dan membentuk manusia yang berpikir kritis dan berempati. Jika kita terus membiarkan budaya membaca memudar, maka yang kita pertaruhkan bukan hanya nasib industri buku, tetapi arah masa depan bangsa.

Masyarakat yang tidak membaca adalah masyarakat yang mudah terombang-ambing oleh hoaks, manipulasi informasi, dan kehilangan kemampuan membedakan kebenaran dari sensasi. Sebaliknya, bangsa yang membaca adalah bangsa yang mampu menulis sejarahnya sendiri, merancang masa depannya, dan menavigasi tantangan zaman dengan kecerdasan dan kematangan. Untuk itu, mari kita hidupkan kembali semangat literasi, bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk generasi yang akan datang.