(0362) 21985
organisasisetda@bulelengkab.go.id
Bagian Organisasi

Guru di Ujung Tanduk: Refleksi Hari Guru di Antara Beban Administrasi dan Ancaman Kekerasan

Admin organisasisetda | 25 November 2025 | 324 kali

Guru di Ujung Tanduk: Refleksi Hari Guru di Antara Beban Administrasi dan Ancaman Kekerasan

Setiap tanggal 25 November, bangsa kita memperingati Hari Guru Nasional. Frasa "pahlawan tanpa tanda jasa" yang kita gema-gemakan kini harus kita maknai ulang dalam sebuah realitas yang jauh lebih kompleks dan mengkhawatirkan. Citra mulia seorang guru yang fokus mendidik di depan kelas kini tercoreng oleh sebuah paradoks menakutkan: ketika mendidik bukan lagi sebuah panggilan yang aman, melainkan sebuah pertaruhan di tengah badai tantangan modern.

Di satu sisi, para guru dihadapkan pada tumpukan beban yang kian menumpuk. Mereka tidak lagi sekadar pengajar, tetapi juga administrator yang kewalahan mengisi laporan melalui berbagai aplikasi, pembuat konten digital yang harus beradaptasi dengan laju teknologi, serta konselor bagi siswa yang menghadapi berbagai masalah. Tuntutan untuk berinovasi di era digital seringkali tidak diimbangi dengan infrastruktur dan pelatihan yang memadai, menciptakan tekanan baru yang menguras waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk interaksi kualitatif dengan peserta didik. Dedikasi mereka untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif seringkali harus terhenti oleh rutinitas birokrasi yang tak berujung.

Namun, di antara beban yang terstruktur ini, ada ancaman yang lebih primitif dan mengerikan yang muncul dari ruang kelas itu sendiri. Kita tidak bisa lagi menutup mata pada tren yang sangat memprihatinkan: guru yang menjadi korban kekerasan oleh siswanya. Seorang guru dipukul karena menegur siswanya merokok, seorang kepala sekolah dianiaya oleh orang tua murid, dan yang lebih menyakitkan, ada guru yang harus berurusan dengan hukum bahkan mendekam di penjara, hanya karena mencoba menjalankan tugas disiplinnya.

Fenomena ini adalah gejala dari penyakit yang lebih besar: erosinya kewibawaan guru dan hilangnya rasa hormat siswa. Ruang kelas, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan membuat kesalahan, perlahan berubah menjadi arena di mana siswa merasa paling berhak. Keteguran yang seharusnya menjadi bahan introspeksi, justru dibalas dengan aksi kekerasan, pembelaan buta dari orang tua, dan ancaman hukum. Akibatnya, guru kini berjalan di atas telur yang sangat tipis. Di satu sisi mereka dituntut membentuk karakter, di sisi lain mereka tidak memiliki perisai yang cukup kuat. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih jalan paling aman: diam. Mereka membiarkan kesalahan berlalu, mengorbankan kualitas pendidikan demi keselamatan diri.

Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang berbahaya. Siswa yang tidak pernah ditegur akan tumbuh menjadi individu yang tidak mengenal aturan, sementara guru yang hidup dalam ketakutan akan mengalami burnout, trauma, dan kehilangan gairah mengajar. Profesi yang mulia ini perlahan akan ditinggalkan oleh para pribadi terbaik karena dianggap terlalu berisiko dan tidak lagi memberikan rasa aman.

Oleh karena itu, memperingati Hari Guru di era seperti ini harus memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar ucapan selamat atau pemberian bunga. Penghargaan yang sesungguhnya bukanlah seremoni, melainkan tindakan nyata. Sudah saatnya kita semua—pemerintah, masyarakat, dan orang tua—memberikan perisai bagi para pahlawan ini.

Pertama, berikanlah perlindungan hukum yang jelas dan tegas bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Kedua, sederhanakan beban administrasi yang tidak esensial agar mereka bisa kembali fokus pada inti pekerjaan mereka. Ketiga, rekonstruksi peran orang tua sebagai mitra sekolah, bukan penantang, dengan membangun kembali sinergi dan pemahaman bahwa tindakan guru adalah untuk kebaikan anak. Keempat, berikan dukungan psikologis bagi guru yang mengalami trauma, agar mereka tidak sendirian memikul beban tersebut.

Di Hari Guru Nasional kali ini, marilah kita berhenti sejenak dari pujian kosong. Mari kita lihat kenyataan bahwa para pahlawan kita kini sedang terluka di medan perangnya sendiri. Sudah saatnya kita bergerak bersama untuk memastikan bahwa lilin itu kembali bisa menyala terang tanpa takut akan padam oleh hembusan angin kekerasan, beban birokrasi, dan ketidakadilan. Agar mendidik kembali menjadi sebuah tugas mulia yang menyenangkan dan, yang terpenting, aman.