(0362) 21985
organisasisetda@bulelengkab.go.id
Bagian Organisasi

Standar Cantik yang Menyakitkan : Ketika Perempuan Membully Perempuan

Admin organisasisetda | 16 Oktober 2025 | 59 kali

Standar Cantik yang Menyakitkan : Ketika Perempuan Membully Perempuan 

oleh Desak Putu Suastini

    Di balik kemajuan teknologi dan kesadaran gender yang meningkat, realita sosial perempuan masih diwarnai dengan luka yang tak kasat mata: perundungan oleh sesama perempuan karena tidak memenuhi standar kecantikan yang sempit. Fenomena ini kian nyata di media sosial, ruang sekolah, kampus, bahkan lingkungan kerja, ketika perempuan justru menjadi penghakim bagi perempuan lain karena warna kulit, bentuk tubuh, atau penampilan yang dianggap 'tidak ideal'. Standar kecantikan yang mengakar dalam masyarakat kita sudah terbentuk sejak lama. Kulit putih, tubuh langsing, tinggi semampai, wajah tirus, dan hidung mancung seolah menjadi acuan tunggal kecantikan perempuan.

     Citra ini diperkuat oleh media massa, iklan produk kecantikan, dan tren selebritas yang selalu mempromosikan satu wajah cantik yang seragam. Tak heran, perempuan yang tidak memenuhi kriteria ini kerap menjadi sasaran komentar miring, baik secara langsung maupun terselubung. Ironisnya, para pelaku bully dalam banyak kasus justru berasal dari sesama perempuan. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa ucapan seperti 'kamu harus diet deh', 'gelap banget kulitmu', atau 'nggak cocok pakai baju itu' termasuk bentuk body shaming dan beauty shaming yang menyakitkan. Komentar-komentar tersebut bukan hanya menyudutkan, tetapi juga memperkuat hegemoni kecantikan yang tidak inklusif. Perempuan Indonesia secara genetik dan geografis memiliki keragaman bentuk tubuh dan warna kulit.

    Kulit sawo matang, postur tubuh sedang, dan karakter wajah khas Asia Tenggara merupakan kekayaan budaya dan identitas nasional. Namun realitas ini sering kali justru dianggap sebagai kekurangan, karena tidak sesuai dengan standar kecantikan ala barat yang terus direproduksi. Akibatnya, banyak perempuan merasa rendah diri dan berusaha mengubah dirinya dengan berbagai cara, mulai dari bleaching kulit, diet ekstrem, hingga operasi plastik. Fenomena internalized misogyny menjadi salah satu akar masalah dari perundungan ini. Internalized misogyny adalah kondisi ketika perempuan tanpa sadar mengadopsi nilai-nilai patriarkis yang menindas perempuan, dan kemudian menerapkannya terhadap diri sendiri maupun sesamanya. Dalam konteks ini, perempuan menilai dan menghakimi perempuan lain berdasarkan standar kecantikan yang sempit, yang sebenarnya diciptakan oleh sistem patriarki. 

    Kasus-kasus perundungan karena fisik semakin marak di media sosial. Banyak remaja perempuan menjadi korban komentar jahat hanya karena tampil berbeda. Di TikTok, Instagram, hingga YouTube, kolom komentar penuh dengan cibiran tentang berat badan, warna kulit, bentuk hidung, atau gaya berpakaian. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum siap menerima keberagaman bentuk dan rupa manusia. Dampak psikologis dari perundungan ini sangat serius. Banyak korban yang mengalami penurunan harga diri, kecemasan sosial, depresi, bahkan keinginan untuk menyakiti diri sendiri. Beberapa di antaranya akhirnya menarik diri dari pergaulan atau berhenti mengunggah konten di media sosial karena takut dihakimi. Lingkaran ketakutan ini memperkuat isolasi perempuan dari ruang publik dan ruang berekspresi. Dalam jangka panjang, perundungan sesama perempuan menciptakan budaya tidak sehat dalam hubungan sosial. Alih-alih saling mendukung, perempuan menjadi kompetitor yang saling menjatuhkan.

    Solidaritas gender yang semestinya dibangun dalam semangat kesetaraan dan pembebasan justru runtuh oleh rasa iri, standar palsu, dan kebiasaan membandingkan satu sama lain. Pendidikan literasi media menjadi langkah awal yang penting untuk menghentikan siklus ini. Perempuan, sejak usia dini, perlu diajarkan untuk mengenali konstruksi sosial tentang kecantikan dan mengkritisinya. Mereka harus memahami bahwa apa yang dilihat di media adalah hasil manipulasi visual dan bukan realitas sesungguhnya. Dengan literasi ini, mereka bisa belajar menerima diri sendiri dan orang lain secara lebih sehat. Kampanye body positivity juga memegang peran penting. Gerakan ini menekankan bahwa semua bentuk tubuh layak dihargai, bahwa kecantikan datang dalam berbagai rupa. Di Indonesia, gerakan ini mulai tumbuh, namun masih perlu diperluas dan dikuatkan dengan dukungan institusi pendidikan, komunitas, dan media massa. Influencer dan tokoh publik perempuan juga dapat menjadi agen perubahan dengan mempromosikan keberagaman dan penerimaan diri. Selain itu, peran keluarga sangat sentral. Banyak perundungan bermula dari komentar kecil dalam lingkungan rumah: ibu yang menyuruh anak perempuannya untuk berdiet, kakak yang mengejek warna kulit adiknya, atau tante yang membandingkan keponakan dengan anak tetangga.

    Pendidikan empati dan penerimaan diri harus dimulai dari rumah, agar anak perempuan tumbuh dengan kepercayaan diri dan rasa hormat terhadap tubuhnya. Lembaga pendidikan juga harus menciptakan lingkungan aman dan inklusif bagi siswa perempuan. Guru dan tenaga kependidikan perlu mendapatkan pelatihan tentang isu gender, body shaming, dan psikologi anak. Kurikulum harus menyertakan pendidikan karakter yang mendorong penghargaan terhadap keberagaman, bukan menyeragamkan mimpi anak-anak dalam rupa satu wajah ideal. 

   Dalam lingkungan kerja, budaya menghargai kompetensi dan kontribusi perlu ditegakkan di atas penilaian fisik. Perempuan yang tampil sederhana, tanpa riasan berlebihan, atau memiliki warna kulit gelap, tetap layak dihargai sebagai profesional. Dunia kerja harus menolak praktik diskriminatif yang berbasis penampilan dan mempromosikan keberagaman sebagai kekuatan tim. Salah satu cara efektif melawan perundungan adalah menciptakan ruang aman perempuan. Komunitas atau platform yang membebaskan perempuan dari tekanan penampilan bisa menjadi wadah berbagi pengalaman dan saling menguatkan. Di ruang ini, perempuan bisa merayakan tubuhnya sendiri, mendukung perempuan lain, dan membangun narasi kecantikan yang sehat dan membebaskan. Cantik tidak harus seragam. Cantik adalah bahagia dengan diri sendiri, percaya diri, sehat jiwa dan raga. Ketika perempuan mulai menyadari bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh warna kulit atau ukuran pinggang, maka mereka akan lebih kuat menghadapi tekanan sosial. Ini bukan perjuangan yang mudah, tapi sangat mungkin dicapai jika dilakukan bersama. 

    Perempuan tidak seharusnya menjadi musuh bagi sesamanya. Ketika satu perempuan menghina perempuan lain karena bentuk tubuhnya, sejatinya ia sedang menyakiti dirinya sendiri. Sebaliknya, ketika satu perempuan memuji dan menguatkan perempuan lain, ia sedang memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat. Membongkar standar kecantikan yang menyakitkan bukan hanya soal menolak iklan pemutih atau menentang komentar body shaming. Ini adalah soal merebut kembali kendali atas tubuh, pikiran, dan harga diri perempuan. Ini tentang memilih untuk saling mendukung daripada saling menjatuhkan. Ini tentang menyadari bahwa kecantikan bukan satu wajah, tapi seribu rupa. Sudah saatnya kita menyuarakan bahwa setiap perempuan berhak merasa cantik tanpa syarat. Bahwa keberagaman warna kulit, bentuk tubuh, dan gaya penampilan adalah kekayaan yang harus dirayakan, bukan dikoreksi. Perempuan harus berhenti menjadi polisi bagi perempuan lain. Sebaliknya, jadilah cermin yang memantulkan keindahan sejati: penerimaan dan kasih sayang. Karena di dunia yang terlalu sering menghakimi perempuan dari fisiknya, dukungan dari sesama perempuan adalah bentuk keberanian paling radikal. Mari kita ubah luka menjadi pelukan, dan jadikan perbedaan sebagai kekuatan bersama. Cantik itu beragam, dan setiap perempuan layak merasa cukup — tanpa perlu pembuktian.